Roeslan Abdulgani terkenal dengan julukan Tokoh Segala Zaman. Roeslan Abdulgani lahir di suatu kawasan kampung di kota pelabuhan Surabaya di Jawa Timur pada tanggal 24 November 1914. Kawasan itu tidak didiami orang Jawa saja, tetapi juga orang-orang Indo-Belanda. Pada hakikatnya, kampung itu merupakan pencerminan dari Surabaya yang merupakan kota perdagangan di mana juga terdapat industri.
Roeslan Abdulgani berasal dari suatu keluarga yang termasuk golongan mandiri. Ayah Roeslan Abdulgani adalah seorang saudagar, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama yang juga memberikan pelajaran bahasa Arab. Karena tidak berasal dari keluarga “ambtenaar” (pegawai pamong praja), Roeslan Abdulgani tidak dapat masuk sekolah normal. Tetapi ayah Roeslan Abdulgani mengenal inspektur pendidikan pribumi. Karenanya, cara yang mungkin tidak terlalu sopan, seperti sumbangan telur, gula, dan sebagainya ia lakukan juga agar dapat masuk sekolah.
Setelah bercakap-cakap sebentar, inspektur itu mengatakan pada Roeslan Abdulgani, “Coba memegang kedua telinga dengan tangan melalui kepala, jika bisa, mungkin kamu berumur enam tahun. Dan ternyata Roeslan Abdulgani bisa memegang telinga. Kamu diterima dan datanglah besok ke sekolah. Dengan demikian, pada tahun 1920 Roeslan Abdulgani masuk HIS (Hollands Indlandse School - sekolah dasar untuk kaum pribumi), yang merupakan satu-satunya di kota.
Di sekolah itu Roeslan Abdulgani belajar bahasa Belanda, termasuk kebudayaan Belanda. Di dinding kelas tergantung gambar-gambar yang dibubuhi keterangan seperti “inlander (orang pribumi) itu malas”, “inlander itu bodoh”, dan “inlander itu adalah pencuri”. Di bawah gambar seorang Belanda yang duduk di kursi ditulis “orang Belanda itu cerdas”.
Pada mulanya, Roeslan Abdulgani tidak terlalu bergairah untuk belajar bahasa Belanda dan menyanyi
lagu-lagu seperti “Rood wit en blauw, de koning en zijn vrouw” (merah, putih, biru sang raja dengan permaisuri) dan sebagainya dan sebagainya. Beberapa waktu kemudian Roeslan Abdulgani mendapat seorang guru asal Jawa yang memberikan mata pelajaran sejarah. Dia menceritakan mengenai perlawanan Diponegoro dan berkembanglah rasa nasionalisme.
Ketika Roeslan Abdulgani masih bersekolah di sekolah dasar, Surabaya dilanda aksi-aksi pemogokan yang khusus dilancarkan jawatan kereta api. Kaum komunis pada tahun-tahun 1926 dan 1927 mulai bergerak dan di mana-mana timbul huru-hara. Di mana-mana muncul seruan untuk mogok yang dibubuhi gambar palu arit dan bulan bintangnya Islam. Hal-hal itu menyadarkan kami bahwa perlawanan dan keresahan sosial merupakan masalah yang mengandung bara api. Para guru menyinggungnya, tetapi meminta agar para murid tidak ikut serta”.
Pada tahun 1926, Roeslan Abdulgani melanjutkan pendidikan di MULO (setaraf SMP). Ayah Roeslan Abdulgani untuk masa itu memang termasuk orang berada. Beliau memiliki toko yang diperlengkapi telepon, menjual gula pasir, beras dan kain batik, menyewakan mobil dan kemudian juga menyewakan rumah. Pada suatu ketika, Roeslan Abdulgani dan ayahnya mengendarai mobil melalui para pegawai jawatan kereta api yang dikeluarkan dari rumah-rumah dinas mereka karena ikut dalam pemogokan. Perabotan rumah mereka dijejerkan di pinggir jalan sementara hujan turun.
Barang-barang mereka itu dibeli oleh orang Cina dan Arab dengan harga miring. Ayah Roeslan Abdulgani berkata kepada Roeslan Abdulgani: “Inilah negerimu”. Hal itu menyadarkan Roeslan Abdulgani bahwa di negeri ini tidaklah semua berjalan mulus. Di sekolah Roeslan Abdulgani mendapatkan apa yang dinamakan sejarah tanah air yang antara lain mencakup perang 80 tahun antara Spanyol melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1568 sampai 1648.
Dalam pelajaran sejarah itu Roeslan Abdulgani diajarkan bahwa selama 80 tahun itu bangsa Belanda melawan Spanyol untuk memperoleh kemerdekaannya itu. Roeslan Abdulgani secara teratur menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus yang salah satu kalimatnya berbunyi “mengusir kekejaman yang telah melukai hati kami”.
Ketika Roeslan Abdulgani berumur 13, 14 tahun, suatu perasaan nasionalisme yang masih belum berbentuk mulai bersama. Lembaga sekolah menyadarkan Roeslan Abdulgani bahwa ada sesuatu yang tidak beres”. “Pada tahun 1930, Roeslan Abdulgani mengakhiri MULO dan melanjutkan sekolah di HBS (Hogere Burger School - setaraf SMA), yang sebenarnya hanya terbuka untuk anak-anak Belanda. Di Surabaya pada waktu itu memang tidak terdapat AMS (Algemene Middlelbare School -setingkat SMA) yang terbuka untuk siapa saja.
HBS di Surabaya didirikan tahun 1871 dan merupakan yang tertua di Indonesia (yang waktu itu masih merupakan Hindia Belanda) dan lulusannya biasanya mendapatkan kesempatan bekerja di perkebunan dan perusahaan-perusahaan perdagangan. Tetapi Roeslan Abdulgani diterima juga setelah lulus dalam mata pelajaran goniometrie (ilmu ukur bidang) dan steriometrie (ilmu ukur ruang).
Penguasaan bahasa Belanda Roeslan Abdulgani diuji yang dinamakan “I crossed the colour-line”. Roeslan Abdulgani telah melintasi garis perbedaan warna kulit. Sekolah itu memang merupakan suatu lembaga pendidikan Belanda dengan sekitar 700 murid Belanda dengan kira-kira 30 orang bukan Belanda. Dalam kelas Roeslan Abdulgani yang berjumlah 30 murid, 20 di antaranya merupakan anak-anak totok, lima Indo, tiga asal Cina dan hanya dua Inlander (pribumi). Yang dua ini adalah putri bupati Surabaya dan Roeslan Abdulgani.
Di antara murid-murid Belanda, Roeslan Abdulgani masih ingat yang bernama Coomans, Tichelaar, Waasdorp dan sepasang wanita, Pauline Vennik dan Betty de Haas. Dengan Coomans saya sampai sekarang masih menjalin hubungan.
Roeslan Abdulgani berasal dari suatu keluarga yang termasuk golongan mandiri. Ayah Roeslan Abdulgani adalah seorang saudagar, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama yang juga memberikan pelajaran bahasa Arab. Karena tidak berasal dari keluarga “ambtenaar” (pegawai pamong praja), Roeslan Abdulgani tidak dapat masuk sekolah normal. Tetapi ayah Roeslan Abdulgani mengenal inspektur pendidikan pribumi. Karenanya, cara yang mungkin tidak terlalu sopan, seperti sumbangan telur, gula, dan sebagainya ia lakukan juga agar dapat masuk sekolah.
Setelah bercakap-cakap sebentar, inspektur itu mengatakan pada Roeslan Abdulgani, “Coba memegang kedua telinga dengan tangan melalui kepala, jika bisa, mungkin kamu berumur enam tahun. Dan ternyata Roeslan Abdulgani bisa memegang telinga. Kamu diterima dan datanglah besok ke sekolah. Dengan demikian, pada tahun 1920 Roeslan Abdulgani masuk HIS (Hollands Indlandse School - sekolah dasar untuk kaum pribumi), yang merupakan satu-satunya di kota.
Di sekolah itu Roeslan Abdulgani belajar bahasa Belanda, termasuk kebudayaan Belanda. Di dinding kelas tergantung gambar-gambar yang dibubuhi keterangan seperti “inlander (orang pribumi) itu malas”, “inlander itu bodoh”, dan “inlander itu adalah pencuri”. Di bawah gambar seorang Belanda yang duduk di kursi ditulis “orang Belanda itu cerdas”.
Pada mulanya, Roeslan Abdulgani tidak terlalu bergairah untuk belajar bahasa Belanda dan menyanyi
lagu-lagu seperti “Rood wit en blauw, de koning en zijn vrouw” (merah, putih, biru sang raja dengan permaisuri) dan sebagainya dan sebagainya. Beberapa waktu kemudian Roeslan Abdulgani mendapat seorang guru asal Jawa yang memberikan mata pelajaran sejarah. Dia menceritakan mengenai perlawanan Diponegoro dan berkembanglah rasa nasionalisme.
Ketika Roeslan Abdulgani masih bersekolah di sekolah dasar, Surabaya dilanda aksi-aksi pemogokan yang khusus dilancarkan jawatan kereta api. Kaum komunis pada tahun-tahun 1926 dan 1927 mulai bergerak dan di mana-mana timbul huru-hara. Di mana-mana muncul seruan untuk mogok yang dibubuhi gambar palu arit dan bulan bintangnya Islam. Hal-hal itu menyadarkan kami bahwa perlawanan dan keresahan sosial merupakan masalah yang mengandung bara api. Para guru menyinggungnya, tetapi meminta agar para murid tidak ikut serta”.
Pada tahun 1926, Roeslan Abdulgani melanjutkan pendidikan di MULO (setaraf SMP). Ayah Roeslan Abdulgani untuk masa itu memang termasuk orang berada. Beliau memiliki toko yang diperlengkapi telepon, menjual gula pasir, beras dan kain batik, menyewakan mobil dan kemudian juga menyewakan rumah. Pada suatu ketika, Roeslan Abdulgani dan ayahnya mengendarai mobil melalui para pegawai jawatan kereta api yang dikeluarkan dari rumah-rumah dinas mereka karena ikut dalam pemogokan. Perabotan rumah mereka dijejerkan di pinggir jalan sementara hujan turun.
Barang-barang mereka itu dibeli oleh orang Cina dan Arab dengan harga miring. Ayah Roeslan Abdulgani berkata kepada Roeslan Abdulgani: “Inilah negerimu”. Hal itu menyadarkan Roeslan Abdulgani bahwa di negeri ini tidaklah semua berjalan mulus. Di sekolah Roeslan Abdulgani mendapatkan apa yang dinamakan sejarah tanah air yang antara lain mencakup perang 80 tahun antara Spanyol melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1568 sampai 1648.
Dalam pelajaran sejarah itu Roeslan Abdulgani diajarkan bahwa selama 80 tahun itu bangsa Belanda melawan Spanyol untuk memperoleh kemerdekaannya itu. Roeslan Abdulgani secara teratur menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus yang salah satu kalimatnya berbunyi “mengusir kekejaman yang telah melukai hati kami”.
Ketika Roeslan Abdulgani berumur 13, 14 tahun, suatu perasaan nasionalisme yang masih belum berbentuk mulai bersama. Lembaga sekolah menyadarkan Roeslan Abdulgani bahwa ada sesuatu yang tidak beres”. “Pada tahun 1930, Roeslan Abdulgani mengakhiri MULO dan melanjutkan sekolah di HBS (Hogere Burger School - setaraf SMA), yang sebenarnya hanya terbuka untuk anak-anak Belanda. Di Surabaya pada waktu itu memang tidak terdapat AMS (Algemene Middlelbare School -setingkat SMA) yang terbuka untuk siapa saja.
HBS di Surabaya didirikan tahun 1871 dan merupakan yang tertua di Indonesia (yang waktu itu masih merupakan Hindia Belanda) dan lulusannya biasanya mendapatkan kesempatan bekerja di perkebunan dan perusahaan-perusahaan perdagangan. Tetapi Roeslan Abdulgani diterima juga setelah lulus dalam mata pelajaran goniometrie (ilmu ukur bidang) dan steriometrie (ilmu ukur ruang).
Penguasaan bahasa Belanda Roeslan Abdulgani diuji yang dinamakan “I crossed the colour-line”. Roeslan Abdulgani telah melintasi garis perbedaan warna kulit. Sekolah itu memang merupakan suatu lembaga pendidikan Belanda dengan sekitar 700 murid Belanda dengan kira-kira 30 orang bukan Belanda. Dalam kelas Roeslan Abdulgani yang berjumlah 30 murid, 20 di antaranya merupakan anak-anak totok, lima Indo, tiga asal Cina dan hanya dua Inlander (pribumi). Yang dua ini adalah putri bupati Surabaya dan Roeslan Abdulgani.
Di antara murid-murid Belanda, Roeslan Abdulgani masih ingat yang bernama Coomans, Tichelaar, Waasdorp dan sepasang wanita, Pauline Vennik dan Betty de Haas. Dengan Coomans saya sampai sekarang masih menjalin hubungan.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar